Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah


Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
            Menurut Kahin (2005; xxxii; Graves, 2007: 286), salah satu cir pembeda antara suku Minangkabau dengan suku bangsa lain adalah keserasian antara sistem matrilineal dan keteguhan terhadap Islam. Titik temu filsafat kebudayaan Minangkabau dengan nilai-nilai Islam memiliki akar sejarah (Kratz, 2002: ix) yang panjang dan khas yaitu Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabulah’ (Bahar, 2008: Mahmud, 2010:1) dan alam takambang jadi guru. Nilai inilah yang menjadi pedoman dan semangat bagi suku Minangkabau dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial di kampung halaman maupun di rantau.
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah ungkapan yang lazim di tengah masyarakat Minangkabau. Menurut Thaib (1965:7),
“ Adat Minangkabau ialah suatu susunan peraturan hidup yang diatur dengan kato-kato. Adapun kato-kato itu adalah satu istilah adat yang artinya serangkaian perkataan terdiri dari dua kalimat pendek, tetapi daam artinya luas pahamnya, misalnya hidup dikandung adat, mati dikandung tanah. Artinya segala tingkah laku yang fi’il perbatan yang merupakan sikap hidup dalam kelompok-kelompok kesatuan masyarakat haruslah menurut peraturan adat yang dilahirkam oleh norma-norma yang dikandung kato-kato.”
Menurut Navis (1984:88), adat adaah kebudayaan secara utuh yang dapat berubah. Namun ada adat yang tidak berubah, di Minangkabau ada 4 adat yang telah lama dipakai sevcara turun-temurun:
a.       Adat nan Sabana Adat
Segala sesuatu yang telah demikian terjadi menurut ketentuan Allah, hukum alam yang selalu abadi dan tidak berubah-ubah. Termasuk dalam adat nan sabana adat, yaitu segala sesuatu yang diterima dari nabi Muhammad saw, dan aturan-aturan yang tertera di daam al-quran. Menurut Navis(1984:89), yang sebenarnya adat ialah adat yang asli, yang tidak lapuk uleh hujan yang tak lekang oleh panas. Kalau dipaksa dengan keras mengubahnya, ia dicabuik indak mati, diasak indak layua (dicabut tidak mati, dipindahkan tidak layu). Adat yang lazim diungkapkan dalam pepatah dan petitih ini, seperti hokum alam yang menjadi falsafah hidup mereka.
b.      Adat nan teradat
Merupakan adat yang terpakai berbeda antara nagari-nagari, saluhak-luhak, salaras-laras. Adat ini merupakan adat yang disesuaikan dengan keadaan setempat.
c.       Adat istiadat
Menurut Navis (1984:89) hal tersebut adalah adat-istiadat kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat umum atau setempat, seperti acara yang bersifat seremoni tau tingkah laku pergaulan yang bila dilakukan akan dianggap baik dan bila tidak dilakukan tidak apa-apa.
d.      Adat nan diadatkan
Merupakan aturan-aturan yang banyak bersangkutan dengan susunan masyarakat. Dalam rangka menata kehidupan bersama, ada hal-hal yang dapat berubah seperti undang-undang dan hokum yang berlaku. Dalam hal ini termasuk dalam kategori adat yang  diadatkan. Diungkapkan dengan perumpamaan, jikok dicabiuk mati, dikok diasak layua ( jika dicabut mati, jika dipindahkan layu).  Menurut Navis (1984:89) yang dimaksudkan dengan adat yang diadatkan ialah apa yang dinamakan sebagai undang-undang dan hokum yang berlaku, seperti yang didapat pada undang-undang Luhak dan Rantau, Undang-undang Nan Duapuluh.

Memahami Bimbingan Syarak dalam Kaedah Adat
Masyarakat adat berpegang adat bersendi syariat dan syariat yang bersendikan Kitabullah, sebenarnya memahami bahwa kaedah-kaedah adat dipertajam makna dan fungsinya oleh kuatnya peran syariat. Pelajaran-pelajaran sesuai syara’ itu, antara lain dapat di ketengahkan ;

1.      Mengutamakan prinsip hidup berkeseimbangan
Ni’mat Allah, sangat banyak. “Dan jika kamu menghitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi maha Penyayang” (QS.16, An Nahl : 18). Keseimbangan ini semakin jelas wujud dalam kemakmuran di ranah ini, seperti ungkapan ;
“Rumah gadang gajah maharam, Lumbuang baririk di halaman, Rangkiang tujuah sajaja, Sabuah si bayau-bayau, Panenggang anak dagang lalu, Sabuah si Tinjau lauik, Birawati lumbuang nan banyak, Makanan anak kamanakan. “
“Manjilih ditapi aie, Mardeso di paruik kanyang.”
Sesuai bimbingan syara’, “Berbuatlah untuk hidup akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok dan berbuatlah untuk hidup duniamu, seolah-olah akan hidup selama-lamanya” (Hadist).
2.      Kesadaran kepada luasnya bumi Allah, merantaulah
Allah telah menjadikan bumi mudah untuk digunakan. Maka berjalanlah di atas permukaan bumi, dan makanlah dari rezekiNya dan kepada Nya lah tempat kamu kembali. “Maka berpencarlah kamu diatas bumi, dan carilah karunia Allah dan (di samping itu) banyaklah ingat akan Allah, supaya kamu mencapai kejayaan“, (QS.62, Al Jumu’ah : 10).
“Karatau madang di hulu babuah babungo balun. Marantau buyuang dahulu di rumah paguno balun. “ Ditanamkan pentingnya kehati-hatian, “Ingek sa-balun kanai, Kulimek sa-balun abih, Ingek-ingek nan ka-pai, Agak-agak nan ka-tingga”.

3.      Mencari nafkah dengan “usaha sendiri”
Memiliki jati diri, self help dengan tulang delapan kerat dengan cara amat sederhana sekalipun “lebih terhormat”, daripada meminta-minta dan menjadi beban orang lain, “Kamu ambil seutas tali, dan dengan itu kamu pergi kehutan belukar mencari kayu bakar untuk dijual pencukupkan nafkah bagi keluargamu, itu adalah lebih baik bagimu dari pada berkeliling meminta-minta”. (Hadist).
4.      Tawakkal dengan bekerja dan tidak boros.
Tawakkal, bukan “hanya menyerahkan nasib” dengan tidak berbuat apa-apa, “Bertawakkal lah kamu, seperti burung itu bertawakkal“ (Atsar dari Shahabat). Artinya, pemahaman syarak menanamkan dinamika hidup yang tinggi.

5.      Kesadaran kepada ruang dan waktu
Menyadari bahwa peredaran bumi, bulan dan matahari, pertukaran malam dan siang, menjadi bertukar musim berganti bulan dan tahun, adalah hukum alam semata. “Kami jadikan malam menyelimuti kamu (untuk beristirahat), dan kami jadikan siang untuk kamu mencari nafkah hidup“. (QS.78, An Naba’ : 10-11). Ditananamkan kearifan akan adanya perubahan-perubahan. Yang perlu dijaga ialah supaya dalam segala sesuatu harus pandai mengendalikan diri, agar jangan melewati batas, dan berlebihan,
“Ka lauik riak mahampeh, Ka karang rancam ma-aruih, Ka pantai ombak mamacah. Jiko mangauik kameh-kameh, Jiko mencancang, putuih – putuih, Lah salasai mangko-nyo sudah”. Artinya, pemahaman syarak menekankan kepada kehidupan yang dinamis, mempunyai martabat (izzah diri), bekerja sepenuh hati, menggerakkan semua potensi yang ada, dengan tidak menyisakan kelalaian ataupun ke-engganan. Tidak berhenti sebelum sampai. Tidak berakhir sebelum benar-benar sudah.


Referensi:
[diakses tanggal 27 November 2012]
Nusyirwan. 2010. Manusia Minangkabau: Iduik Bajaso Mati Bapusako. Gre Publishing:
Jogjakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi Besar dan Tradisi Kecil

Daurah Dakwah Fardiyah

Langkah-langkah menuju Kampus Madani