Tradisi Besar dan Tradisi Kecil


1.      Tradisi
Secara teminologis perkataan ‘tradisi’ mengandung dalam dirinya suatu pengertian tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dengan masa kini. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa sekarang. Tradisi dalam pengertiannya yang paling elementer adalah sesuatu yang ditransmisikan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini. (Shils, 1981: 12). Dalam Ensiklopedi Britanica, tradisi merupakan kumpulan dari kebiasaan, kepercayaan dan berbagai praktek yang menyebabkan lestarinya suatu kebudayaan peradaban, atau kelompok social dan karena itu membentuk pandangan hidupnya.
Pengertian-pengertian tradisi yang disampaikan di atas masih mengacu pada pengertian tradisi sebagai “warisan dari masa lalu” sebagai sesuatu yang diterima oleh generasi sekarang dari para pendahulu mereka. Para pemikir yang gagasan-gagasannya dikutip dia atas belum memberikan tempat kepada tradisi sebagai sesuatu yang diciptakan. Hobsbhawn mengajukan argumen cerdas bahwa tradisi-tradisi yang tampaknya sudah tua atau ‘diklaim’ sebagai telah tua sesungguhnya baru dan sengaja diciptakan (Hobsbawn, 1983, 1-2).
Hobsbawn dengan jeli menunjukkan bahwa apa yang seringkali dianggap sebagai kesinambungan dengan sejarah masa lalu  tidak lain adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam konteks invention tradition. Pendek kata ada sejenis respon terhadap situasi baru yang mengambil bentuk acuan kepada suatu situasi yang sudah sangat lama, atau malahan acuan itu sendiri sesungguhnya adalah kreasi yang sama sekali baru namun dicarikan landasannya pada sesuatu yang sudah lama.
Dengan menggaris bawahi kata ‘tradisi’ sebagai sesuatu yang diciptakan disamping sebagai ‘sesuatu yang diwarisi’ memungkinkan kita meletakkan tradisi dalam posisi yang sejajar dengan modernisasi. Pada gilirannya hal ini menunut kita untuk memperlakukan tradisi dan modernisasi dengan jarak yang sama. Cara pandang demikian akan memungkinkan kita dapat menggali tradisi-tradisi yang ada yang berdaya guna dan layak pakai bagi kehidupan social budaya masa kini.

2.      Tradisi Besar dan Tradisi Kecil
Kosep “tradisi besar” (great tradition) dan “tradisi kecil” (little tradition)  adalah sepasang konsep yang pertama kali oleh pakar anthropologi Amerika R. Redfield (Redfield, 1956; 70), yang kemudian banyak digunakan oleh para anthropologi dalam studi mereka terhadap masyarakat beragama di berbagai Negara di Asia, Afrika, dan di Amerika sendiri.
a.       Tradisi Besar (grade tradition)
Grade tradition adalah tradisi dari mereka yang suka berfikir dan yang dengan sendirimya mencakup jumlah orang yang relative sedikit (the reflectif few). Tradisi di Minangkabau seperti halnya tradisi yang telah di sesuaikan dengan “adat Basandi sarak, sarak basandi kitabullah”, mereka yang telah menganut agama islam mulai menyesuaikan tradisi yang merek

b.      Tradisi Kecil (little tradition)
Little tradision adalah tradisi dari sebagian besar orang yang tidak pernah memikirkan secara mendalam tradisi yang mereka miliki.
Tradisi dari filosof, ulama dan kaum terpelajar adalah tradisi yang ditanamkan dan diwariskan dengan penuh kesadaran, sementara tradisi orang kebanyakan adalah tradisi yang sebagian besar diterima dari pendahulu secara apa adanya (taken for granted) dan tidak pernah diteliti atau disaring pengembangannya.
Berangkat dari kajian kritis terhadap terminology ‘tradisi’ kita melihat betapa istilah tersebut dapat dipakai dalam maknanya yang begitu luas. Barangkali di sinilah dapat ditangkap kegunaan konsep Great Tradition dan Little Tradition yang dikembangkan oleh Redfield yang pada dasarnya kita diajari untuk memahami dinamika social budaya suatu kelompok masyarakat melalui penglihatan yang jeli terhadap tarik-menarik, saling pengaruh, persaingan, konflik, integrasi maupun akomodasi antara dua arus utama tadisi.
Dalam hubungannya denga islam, redfield menganjurkan untuk meniru cara Van Grunebaum, yang menggambarkan tarik-menarik antara “the Islamic high culture” dan “local cultures”. Dalam suatu ‘Dar ‘al Islam’ ungkap Van Grunebaum, pola-pola islami adalah pada posisi the great tradition, sebaliknya the little tradition senantiasa merupakan kecenderungan popular di bawah arus (Van Grunebaum, 1955 : 28).
Redfield ingin menjembatani perbedaan antarahumanistic scholars dan para orientalis di sat pihak , dengan para antropolog di pihak lainnya. Para humanistis scholars  dan para orientalis biasa melakukan studi atas suatu tradisi dengan memandang dari ‘atas’,  yakni dengan mempelajari kitab suci atau ajaran-ajaran yang tertulis. Sementara antropolog biasa melakukan studi dengan memandang suatu tradisi dari bawah, yaitu mempelajari kenyataan yang hidup di lingkungan komunitas tertentu. Redfield menganjurkan agar kedua kalangan tersebut memahami suatu peradaban sebagai gelanggang interaksi antara the great tradition dan the little tradition.
Di dalam suatu agama biasanya terdapat beberapa sekte atau madzhab, dan masing-masing sekte atau madzhab tersebut memiliki pemikir masing-masing (the reflective group). Memandang setiap pemikir sebagai ‘agent’ dari suatu ‘great tradition’ akan cenderung mengabaikan variasi dalam satu agama. Di lain pihak juga merupakan sikap sebrono menetapkan madzhab atau sekte tertentu hanya sebagai representasi dari suatu ‘great tradition’.
Dapat dikatakan bahwa saling tarik-menarik antara the great tradition dengan the little tradition telah menghasilkan proses saling pinjam dalam berbagai derajat, yang pada gilirannya telah menimbulkan beragam sekte. Juga dapat pula dinyatakan bahwa masing-masing sekte telah membangun tradisinya sendiri. Teteapi bagaimanapun menempatkan tradisi pada great dan little tradition cenderung mengabaikan atau mengaburkan variasi dari berbagai tradisi.
Meletakkan suatu tradisi dalam kerangka great dan little tradition juga mengandung pengertian bahwa suatu tradisi lebih superior disbanding tradisi yang lain. Hal semacam itu mengandung ethnocentrism yang akan menjauhkan seseorang dari sikap obyektif. Tentu lebih masuk akal memasukkan elemen-elemen yang spesifik dari suatu tradisi ke dalam kategori yang baru, ketimbang dibuat bingung dalam memasukkan elemen-elemen tersebut apakah ke dalam great atau little tradition.
Lebih mungkin jika memandang the reflective few, para kyai, dan intermediate – group lainnya sebagai pencipta dari tradisi yang tersendiri. Dari sudut pandang ini kita dapat melihat bahwa para kyai di Jawa adalah ‘pencipta’ sekaligus ‘agent’ dari suatu tradisi yang spesifik yakni ‘tradisi pesantren’ (Dofler : 1982). Tradisi pesantren jelas berbeda dari the little tradition dalam hal ini budaya local orang jawa; namun juga berbeda dengan  the great tradition dari Islam di luar Jawa dan Indonesia. Tradisi pesantren jelas sebuah contoh dari suatu tradis spesifik yang terletak di antara the great tradition dan little tradition.


Referensi:
Zed, Mestika dan Emizal Amri. Sejarah Sosial dan Ekonomi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daurah Dakwah Fardiyah

Langkah-langkah menuju Kampus Madani