“Reorganisasi Pendidikan Tahun 1870-an: Sekolah Dasar Pemerintah dan Sekolah Lanjutan”
Sekolah sekolah nagari berhasil dalam ukuran zamannya, dalam arti mampu menyediakan keterampilan baru bagi masyarakat Minangkabau, karena jalur tradisional tak lagi memadai untuk mencapai sukses, baik karena factor geografis, maupun lewat mobilitas social. Akan tetapi, sekolah nagari tidaklah mendorong antusiasme yang besar bagi hampir semua lapisan masyarakat.kehadiran seklah-sekolah nagari tidak menciptakan struktur pendidikan yang kaku di Sumatera Barat. Para siswa tidak harus menyelesaikan kurikulum khusus untuk bisa mendapatkan pekerjaan tertentu. Criteria untuk mendapatkan pekerjaan tersebut agak kurang subjektif sifatnya, dan pengaruh keluarga memegang peranan penting.
Pada tahun 1870-an dan tahun-tahun berikutnya, sekolah-sekolah dasar negeri tela memiliki kurikulum standar. Sekolah memiliki buku bacaan baru berbahasa Melayu, yang baru diterbitkan Hindia Belanda dan dirancang untuk system sekolah setempat. Minat pendidikan yang manic meningkat mencerminkan perubahan umum dalam sikap masyarakat Minangkabau dari keluarga-keluarha kalangan kelas menengah dan kelas atas. Pendidikan tidak lagi dilihat sebagai alat tambahan perdagangan. Sebaliknya hal ini menjadi suat persyaratan untuk bergabung dalam masyarakat Hindia Belanda. Makn besar keluarga yang menanggap sector terpenting dalam kehidupan bermasyarakat adalah sector Barat (modern), semakin berlomba-lomba mereka memasukkan anak-anak mereka ke sekolah guna memperoleh pendidikan. Selama periode akhir abad ke-19, orang Minangkabau yang bercita-cita untuk memperoleh dan melanjutkan pendidikan terus meningkat jumlahnya.
Sekolah Dasar Pemerintah
Sekolah dasar nagai sudah diubah namanya menjadi sekolah dasar pemerintah, sebuah petunjuk terhadap adanya perhatian baru pemerintah dalam pengembangan pendidikan. Dalam teorinya, sekolah-sekolah dasar paska 1870 akan melaksanakan pendidikan yang lebih intensif dan baku atau terstandarisasi dukungan financial yang terjamin dan pengawasan pemerintah yang berkelanjutan dilaksanakan untuk menjamin pendidikan bermutu tinggi. Akan tetapi fakta tentang dukungan keuangan pemerintah, pada saat yang sama, pada dasarnya membantu menjelaskan tindakan berlawanan dalam penyelenggaraan sekolah. Dalam era sekolah nagari sebelumnya, keluarga pedagang petani sering mengirim anak-anak mereka karena mereka ingin mengubah karier menjadi pegawai negeri; sekali mereka berhasil masuk ke dalam pemerintahan generasi berikutnya berupaya melanjutkan tradisi tersebut.
Dalam proses ketika pemerintah mengambil-alih penyelenggaraan sekolah nagari, jelas orang Minangkabaulah pemenangnya. Ketika Batavia memutuskan memungut uang sekolah untuk meringankan biaya pendidikan di sekolah dasar yang baru milik pemerintah, orang Minangkabau keberatan. Bagi mereka tetap saja sekolah pemerintah tidak dibenarkan memungut uang sekolah sesuai aturan hukum.
Pemerintah kemudian mengumumkan bahwa sekolah-sekolah yang memenuhi syarat menjadi sekolah dasar pemerintah akan didanai sepenuhnya dari keuangan Negara. Pengetaguan bahwa pemerintah akan menjamin biaya penyelenggaraan sekolah-sekolah local akan mendorong dibukanya sekolah-seklah baru di seluruh kawasan dataran tinggi, dan sampai tingkat tertentu juga di daerah pesisir, dimana mereka ingin membuka kembali sekolah-sekolah yang sebelumnya ditutup.
Bagaimanapun, sikap pemerintahan, tentu sangat selektif, hanya memperhatikan sekolah sekolah yang para gurunya memenhuhi syarat. Pada tahun 1873 misalnya, hanya tujuh sekolah nagari yang diakui sebagai sekolah dasar nagaari tahap pertama: Talu, Rao, Bukittinggi, Batusangkar, Solok, Payakumbuh dan Pariaman. Adanya subsidu pemerintah tidak mengalami banyak perubahan secara geografis dalam pola penempatan sekolah. Diskusi-diskusi umum hanya sedikit ditemukan dan laporan tentang pendidikan menunjukkan bahwa latar belakang social-ekonomi murid tidak banyak berubah.
Suatu petunjuk penting terhadap cirri umum dan kemajuan pendidikan di Sumatera Barat selama abad ke-19 muncul ketika pemerintah pada tahun 1892 mengusulkan untuk membagi pendidikan sekolah dasar kedalam dua kategori berbeda: “Sekolah Kelas Satu” untuk bagsawan dan keluarga kaya, “Sekolah Kelas Dua” bagi masyarakat umum. Walupun itu kelihatannya seperti menunjukkan langkah maju pendidikan, di Minangkabau pembagian semacam itu dalam praktek memiliki efek berlawanan. Peraturan menetapkan bahwa “Sekolah Kelas Dua” hanya bisa memiliki tiga tingkatan (kelas 1-3) dan harus mengajarkan mata pelajaran yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari di nagari. Sekolah-sekolah dasar yang ada di Minangkabau semuanya memiliki lima tingkatan (1-5), mendorong para pelajar dari keluarga non-bangsawan meninggalkan kehidupan sehari-hari di nagari. Untuk pendidikan orang yan ghanya cocok untuk lingkungan pedesaan (nagari), mereka beajar di surau nagari, dan bukan ke sekolah dasar. Tetapi “Sekolah Kelas Satu” juga tidak dapat berjalan dengan baik di Minangkabau karena anak-anak para kepala setempat jarang masuk dan jikapun ada yang bersekolah, mereka pergi ke sekolah nagari yang lama, dengan bahasa pengantarnya bahasa melayu.
Perdebatan mengenai reorganisasi pendidikan di Sumatera Barat menyediakan argument yang kuat bahwa setelah tahun 1870 sekalipun, bukan keluarga para kepala dan bangsawan yang mencari pendidikan. Kepercayaan yang bercokol di lingkaran kaum bangsawan ialah bahwa hanya keluarga-keluarga yang memerlukan bantuan luar untuk hidup yang membutuhkan pendidikan, suatu sifat angkuh yang dengan itu kaum tak terdidik di kalangan bangsawan menunjukkan kebangsawanannya dan hidup dengan ekonomi yang cukup (self-sufficiency).
Peluang Baru untuk Pendidikan Lanjutan
Bagi kebanyakan orang Miangkabau, sekolah lanjutan terpenting ialah yang dibentuk lewat reformsi Lembaga Kedokteran Belanda, yaitu STOVIA(School tot Opleiding van Indisce Artsen—Sekolah untuk Pendidikan Dokter Pribumi), didirikan pada tahun 1851. STOVIA bertujuan untuk menyediakan korp tenaga kesehatan di pelbagai wilayah pedesaan. Satu-satunya teknik kedokteran yang sebenarnya mereka pelajari adalah vaksinasi dan barangkali beberapa keterampilan farmasi. Walaupun setamat STOVIA mereka disebut “Dokter Jawa”, gelar tersebut hanyalah gelar kehormatn; mereka bukan dokter dalam arti sebenarnya.
Beberapa orang Minang yang telah bersekolah di STOVIA sejak awal berdirinya (misalnya dua orang telah terdaftar thun 1856) tetapi tamatan sekola ini kelihatannya tidak menjamin lapangan pekerjaan yang lebih baik bagi mereka di bidang pelayanan kesehatan di Sumatera Barat daripada sudah tersedia bagimurid tamatan sekolah nagari. Di tahun 1898, terjadi lagi penataan baru berikutnya di STOVIA, perluasan ukuran dan ruang lingkupnya. kemudian STOVIA dapat melahirkan “dokter” bukan “ahli medis”
Bentuk lain dari sekolah lanjutan yang menarik minat orang Minagkabau adalah kursus-kursus baru yng dirancang secara khusus untuk melatih para pejabat pribumi (disebut ambtenaar untuk membedakan mereka dengan juru tulis atau kerani). Pada pergantian abad ke-20, sekolah khusus di bidang ini didirikan, yakni OSVIA (Opleiding School voor Inlandisch Ambtenaren – Sekolah untuk Pendidikan Pejabat Hindia), tetapi sebelumnya orang Minangkabau telah mendapat pendidikan pelatihan untuk calom ambtenaar di sekolah Raja Bukittinggi. Pemerintah mengharapkan agar kepala laras mengirim kemenakan mereka ke sekolaj tersebut untuk dididik sebagai calon kepala distrik, akan tetapi pada kenyataannya kebanyakan siswa yang mengikuti kursus ambtenaar tersebut adalah anak para pedagang, guru, dan pegawai negeri.
Impian siswa-siswa Minangkabau juga ialah bisa meneruskan sekolah ke Jawa, yaitu ke sekolah OSVIA yang terdapat di sana. Pada pergantian abad ke-20, sekolah-sekolah di Sumatera Barat sudah menghasilkan lebih banyak orang-orang berpendidikan daripada yang dapat diserap oleh birokrasi pemerintah yang sedang berjalan. Sekolah-sekolah swasta mulai berkembang. Jumlah orang Minangkabau yang tertarik pada pendidikan Barat meluas secara geometris mengikuti garis ikatan-ikatan keluarga besar. Seorang keluarga terdidik akan mendorong anak-anak dan kemenakannya untuk bersekolah dan demikian seterusnya. Apa yang telah dimulai dari tetesan kecill di tahun 1840-an dan 19850-an kemudian berkembang ke dalam arus biasa pada tahun 1900-an.
Referensi:
Graves, E. Elizabeth. 2007. Asal-usul Elite Minangkabau Modern “Rsespons terhadap
Kolonial Belanda Abad XIX/XX”. Jakarta: Bintang Obor Indonesia
Komentar
Posting Komentar