Nasionalisme Minangkabau dalam Tantangan Belanda


Nasionalisme Minangkabau
Dalam pengertian ini “Nasionalisme Minangkabau” akan dipakai untuk menggambarkan gerakan tahun 1833. Ciri mencolok dalam pemberontakan tahun1833 adalah kesinambungan yang jelas dalam cara pengungkapan nasionalisme Minangkabau yang dulu maupun yang kemudian. Hal yang terutama mencolok adalah kesinambungan kepemimpinannya. Ada cirri khas tertentu dari upaya paling awal orang-orang Minangkabau untuk mengusir Belanda dari pantai mereka, yaitu peranan menonjol guru dan murid Islam.
Sumber lain untuk gerakan anti-Belanda sebelum tahun 1833 berasal dari keluarga raja-raja Minangkabau. Beberapa diantaranya rupanya sudah kesal dengan hubungan dagang mereka dengan VOC dan  ingin ikut serta dalam jaringan dagang yang lebih terbuka. Untuk mencapai ini, keluarga raja pada waktu-waktu tertentu bersedia bekerjasama dengan guru-guru Islam dan murid-murid mereka.
Ungkapan perasaan nasional Minangkabau tidak hanya terbatas pada sikap bermusuhan terhadap Belanda. Pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, penduduk Minangkabau di pantai timur Sumatera juga menunjukkan rasa tidak suka yang sama terhadap dominasi Johor dalam perdagangan di wilayah itu. Pemberontakan yang paling berhasil di antara pemberontakan terhadap Johor adalah yang terjadi pada tahun 1718.
Pemberontakan tahun 1833 adalah pemberontakan terakhir yang bercirikan kepemimpinan anggota keluarga raja Minangkabau. Sesudah tahun itu, garis keturunan raja berangsur-angsur mati. Secara lebih khusus ternyata kepemimpinan Islam ternyata dapat berkelanjutan dan bertahan. Pemberontakan besar selanjutnya sesudah tahun 1833 terjadi pada tahun 1908. Factor yang memicu pemberontakan ini adalah pemberlakuan pajak moneter.
Selanjutnya perlawanan terhadap Belanda menjadi gerakan seluruh Indonesia. Dalam perlawanan-perlawanan itu, orang Minangkabau sangat menonjol. Para pemimpin Minangkabau yang menonjol dalam gerakan nasionalisme se-Indonesia adalah orang-orang yang menjadi Islam dengan sadar atau bagian dari kelompok elit yang berpendidikan Barat.
Perdagangan Petani Minangkabau dan Kebijakan Dagang Belanda
Pada bulan Agustus 1833, setelah runtuhnya revolusi Minangkabau di bagian tengah dataran tinggi, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johanes van den Bosch, tiba di Padang dengan niat menyelesaikan masa depan Minangkabau untuk tahun-tahun mendatang. Gubernur Jenderal berpendapat bahwa pemanfaatan produktivitas pertanian Minangkabau bagi Negara Nederland adalah kepentingan utama Belanda di Minangkabau.
Pada tahun 1826, Netherland Handle-Maatschappij (NHM) mendirikan pabrik di Padang. Pabrik itu adalah pabrik satu-satunya di luar Jawa. Pabrik itu lalu mulai bersaing dengan kapal-kapal Amerika untuk membeli kopi di MInangkabau. Disebabkan adanya pabrik tradisional Belanda yang menjual barang dengan kredit kepada para pialang Belanda yang menjual barang dengan kredit kepada para pialang Minangkabau di Padang, NHM tidak hanya berasil. Bahkan pada tahun 1830, tercatat bahwa perusahaan gagal memperoleh bagian yang berarti dari kopi yang diekspor.
Merumuskan langkah-langkah guna mendapatkan kopi Minangkabau bagi Netherland merupakan tugas yang Johannes van den Bosch tetapkan untuk dirinya sendiri ketika ia tiba di Padang pada tahun 1833. Ia merasa bahwa keberhasilan dalam usaha perdagangan ini bisa tercapai kalau kelompok-kelompok pedagang tertentu yang bekerja di Minangkabau dapat disingkirkan. Diantara kelompk-kelompok ini, yang menjadi sasaran pertama Bosch adalah petani pedagang Minangkabau, salah satu unsure utama system Padri.
Van der Bosch yang begitu cermat memperhitungkan segala yang kecil-kecil untuk keuntungan Belanda nampaknya tidak bisa menganalisis rumah tangga penanaman kopi Minangkabau. Tugas van der Bosch yang pertama adalah membuat perhitungan mengenai kerugian yang diderita Netherland yang disebabkan oleh perdagangan kopi. Ia menganggap penting aspek ini dalam rencananya dan untuk melaksanakanrencananya ia memerlukan bantuan NHM. Pada bulan januari 1834, sebuah kontrak yang berlaku selama tiga tahun ditandatangani oleh Gubernur Jendral dan wakil NHM di Padang. Kontrak itu menyatakan bahwa NHM akan mendirikan dua depot dataran tinggi di tempat-tempat yang cocok untuk menguasai perdagangan kopi, yaitu Payakumbuh di Limapuluh Koto.
Pada tahun 1841, terjadilah kehancuran. Serbuan nasabah pada Java Bank dan bangkrutnya sejumlah perusahaan di Jawa bagian utara membuka tabir terselubung. Ternyata ada sejumlah besar utang yang belum dibayar Padang. Kehancuran tersebut seolah membuat masalah-masalah yang terkandung dalam penyusunan rencana di Jawa dan Eropa untuk mengubah struktur social perdagangan Minangkabau menjadi ringan. Kelas pialang Cina memerlukan waktu untuk menyusun kekuatan lagi karena kini mereka menempati posisi kedua setelah bangsa Eropa. Tiada ada pialang Minangkabau skala besar muncul dari kelompok pialang tambahan di pantai karena sebagaian besar system kepialangan terlalu kukuh dalam tangan orang-orang asing.
Di samping itu, ada satu tindakan Belanda yang sangat memukul perdagangan kopi di bagian timur Minangkabau Tengah. Kebijakan ini yaitu penignkatan efektifitas dalam upaya mengurung Minangkabau dan memutuskan hubungannya dengan pantai timur. Selain itu pemerintah Hindia Belanda menjalankan dua strategi sejajar untuk menghancurkan jaringan dagang di pantai timur  Minangkabau: 1) pendirian benteng-benteng kecil di jalan utama keluar dari Limapuluh Kota dan daerah sekitarnya, tujuannya mencegah jalan ini dilalui pedagang; 2) Mengadakan perjanjian dengan para Sultan yang bermukim di bawah jalur keluar Minangkabau dilaksanakan di bawah “perlindungan” Belanda.
Pada bulan Januari 1840, menteri lain menggantikan van der Bosch, pada bulan Oktober di tahun yang sama seorang raja baru menggantikan Willem I.J.C Baud. Menteri yang baru ternyata memiliki pandangan yang berbeda dengan Bosch, ia menyarankan agar Aceh tetap harus menjadi tujuan akhir kebijakan Belanda di Sumatera dan raja menyetujuinya. Pos-pos yang termasuk dalam penguasaan harus ditinggalkan, tetapi tidak ada upaya pengenduran dalam upaya memotong perdagangan pantai timur Minangkabau sebaliknya justru tampak peningkatan.


Referensi:
Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri:
Minangkabau 1784-1847. Komunitas Bambu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi Besar dan Tradisi Kecil

Daurah Dakwah Fardiyah

Langkah-langkah menuju Kampus Madani